Minggu, 16 Oktober 2016

TATANAN KRATON CAKRANINGRAT IV


INSPIRASI CAKRANINGRAT IV
DALAM TATANAN KRATON


Onengngah panjennengan sadejeh, jek dimen gi’ jeman raja badhah sittong kembangah nagereh, kembang dari Sembilangan kraton na e kakdissah.
     Sekitar 30 tahun kraton sembilangan berdiri gagah perkasa, pemberani, berjiwa patriot, berstrategi genius dan sudah tentu berjiwa ksatria. SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI. “ ABHUKKA’ SARENAH PATEH, NYARESSEP SARENAH ATEH ODHI’ A-CAKRA “. MAMAYU HAYUNING BAWANA AMBRASTA DUR HANGKARA.
     Tahun demi tahun berproses di kraton yang terbuat dari kayu Cendana tersebut, tentara dan pasukan cakraningrat yang hebat terlatih mengalami berbagai peperangan. Kemenangan demi kemenangan diraihnya sehingga obsesi bak Raden wijaya (Raja Majapahit) semakin menggelora dalam dirinya, Beliau ingin mengembalikan kejayaan Majapahit dibawah keturunannya dengan tujuan utama sedayu sebagai pusatnya. Tempat ini dipandang oleh pangeran cakraningrat IV sebagai tempat yang paling strategis, subur dan makmur. Mungkin karena dekat dengan laut. Dimana hal ini serupa dengan kraton Sembilangan yang sebagiannya sisinya ( Utara-Barat-Timur) di kelilingi laut.
     Cakraningrat IV  begitu cerdik mempelajari tentang kerajaan Majapahit semasa jayanya. Telisik punya telisik , ternyata pangeran Cakraningrat mengadopsi strategi pertempuran Majapahit pada sebagian besar kemenangannya, strategi ini juga sudah diperkenalkan pada masa majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dengan sang Mahapatih gajah mada. Dimana strategi ini banyak menorehkan sejarah panjang dalam kemenangan demi kemenangan. Begitu juga selama kisaran 29 tahun kraton Sembilangan berdiri.
BUHPAK BABUH GURUH RATOH ILLALLOH BHANTAL SYADHAT SAPO’ IMAN PAJUNG ALLOH, berkisar 2 abad setelah keruntuhan Majapahit, namun kebesaran Kerajaan tersebut sebagai leluhur dari diri Pangeran Cakraningrat IV, dimana darah Majaphit murni mengalir dalam jiwa raganya tetap menginspirasi beliau dalam setiap perjuangan-perjuangannya masih terasa hingga kini. Sebagai sebuah negara besar Majapahit tentu mempunyai sistem pengaturan kekuasaan yang baik lagi seksama, karena semakin luas kekuasaan wilayah suatu negara maka semakin rumit dan komplek pula pengaturannya, terutama mengenai hubungan antara negeri-negeri di daerah dengan kerajaan pusat. Dalam hal ini Majapahit menggunakan sistem kekaisaran, semua kerajaan-kerajaan di kawasan Nusantara berdaulat dan mempunyai wewenang penuh menjalankan pemerintahannya yang sesuai dengan sisitem kenegaraaan ataupun perundang-rundangan Majapahit sebagai kerajaan induk. Dengan demikian kestabilan sosial dan politik di kerajaan-kerajaan bawahan akan dapat dengan mudah terkontrol oleh pusat dimana hal ini masih berlaku hingga sekarang.
Sisitem ketatanegaraan ini dimulai sejak pengangkatan tribuana Tunggadewi sebagai Raja Majapahit ke tiga paska pemberontakan Kuti pada tahun 1329. Sistem itu disebut dengan Sabda Thara Prabu, dimana sistem baru itu mereformasi sistem kenegaraan Majapahit sebelumnya yaitu dengan pembentukan negara-negara khusus di Jawa yang dikuasaan kepada para kerabat Istana Majapahit. Juga didalam pemerintahan kerajaan Majapahit dibentuk Dewan Pertimbangan Agung, sekalipun semua anggotanya adalah kerabat sang raja yang sebagian juga adalah para raja dan negara-negara bawahan khusus tersebut. Dengan sistem pemerintahan ini Majapahit mengalami perubahan warna politik dan sistem “MONARKHI ABSOLUT” menjadi kerajaan aristrokrasi_musyawarah dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan.
Sistem ataupun struktur pemerintahan yang ada di negeri-negeri bawahan tentu akan sama pula seperti di Majapahit sebagai kerajaan pusat. Hal ini juga berlaku bagi beberapa kerajaan di tanah Jawa yang dikuasai oleh para kerabat Raja Majapahit. Hanya saja kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai hubungan dan peranan yang istimewa bagi Majapahit. Mereka adalah penopang dan sekaligus kekuatan bagi kekaisaran Nusantara. Dan kerajaan-kerajaan di Jawa yang dikuasai oleh para kerabat raja Majapahit tersebut menurut negarakretagama.
(piagam Singosari tahun 1351 M) adalah sebagai berikut:
1.             Kerajaan Daha/Kediri diperintah oleh Bhre Daha yaitu; Dyah Wiyat Sri Rajadewi.
2.             Kerajaan Wengker diperintah oleh Raja Wijaya Rajasa.
3.             Kerajaan Mataun diperintah oleh Raja Rajasa Wardhana.
4.             Kerajaan Lasem diperintah oleh Bhree Lasem yaitu; Duhitendu Dewi.
5.             Kerajaan Pajang diperintah oleh Bhree Pajang
6.             Kerajaan Paguhan diperintah oleh Raja Singa Wardhana.
7.             Kerajaan Kahuripan Diperintah oleh Tribuana Tunggadewi (ibu Prabu Hayam Wuruk).
8.             Kerajaan Singasari dipertntah oleh Kerta Wardhana.
9.             Kerajaan Mataram diperintah oleh Bhree Mataram yaitu; Wikrama Wardhana.
10.         Kerajaan Wirabumi diperintah oleh Bhree Wirabumi.
11.         Kerajaan Pamanukan diperintah oleh Putri Swardhani.
Selain dari sebelas raja tersebut adalah penguasa kerajaan bawahan di Jawa, delapan diantaranya termasuk sebagai dewan dalam sembilan orang Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan Majapahit, yaitu:
1.             Sang Ibu Hayam Wuruk Raja Majapahit selaku ketua dewan.
2.             Tribuana Tunggadewi
3.             Sri Kerta Wardhana
4.             Dyah Wiyat Sri Rajadewi
5.             Sri Wijaya Rajasa
6.             Bhre Lasem Duhitendu Dewi
7.             Sri Rajasa Wardhana
8.             Bhre Pajang
9.             Singa Wardhana
Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Majapahit mengangkat lima pejabat tinggi kerajaan yang bertanggung jawab atas masing-masing departemen yang dipimpinnya untuk melangsungkan jalannya roda kepemerintahan di Majapahit. Para pejabat tersebut bertanggung jawab langsung kepada raja yang juga dikenal dengan sebutan Sang Panca Wilwatikta, yaitu:
1.             Rakyan Maha Patih: Atau dalam istilah modern disebut perdana mentri yang bertugas menjalankan kebijakan-kebijakan raja untuk diolah dan dijadikan sebagai rancangan program – program kemerintahan. Ia memimpin kabietiya dan bertanggung jawab langsung kepada sang raja.
2.             Rakyan Demung: Yaitu panglima kerajaan yang bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
3.             Rakyan Kanuruhan: Yaitu Pembantu utama raja. Ia bertugas melaksanakan tugas-tugas kenegaraan secara umum juga sebagai duta resmi kerajaan di mancanegara.
4.             Rakyan Rangga: Yaitu sekretaris dan juru bicara istana, ia juga bertugas mengurusi setiap aturan protokoler di istana.
5.             Rakyan Tumenggung: yaitu bertugas mengatur urusan rumah tangga istana berikut keamanannya.
Maha Patih adalah pejabat negara yang paling sentral dalam menjalankan roda kepemerintahan. Di tangannyalah kebijakan-kebijakan raja diolah dan dilaksanakan hingga sampai negara-negara bawahan, tingkat daerah/provinsi dan hingga ke desa-desa. Dalam tugas ini ia dibantu empat pejabat kabinetnya dalam menjalankan roda kepemerintahan sesuai dengan divisi atau departemennya masing-masing. Keempat pejabat tersebut adalah;
1.      Wredda mentri (mentri sepuh) dan
2.      Tiga maha mentri; Maha mentri Hino, Maha mentri Sirikan dan Maha mentri Halu.
Mahapatih juga berkewajiban berkoordinasi dengan para jajaran pejabat Wilwatikta lainnya. Ia pun harus memimpin sidang tahunan negeri yang dilaksanakan pada bulan Caitra (Maret — April) dengan di hadiri oleh para pejabat Wilwatikta, perwira, pendeta negeri, hakim agung dan para pejabat tinggi dan kadipaten-kadipaten (propinsi) dan negara negara bawahan. Pada bulan ini pula kerajaan mengadakan pesta kenegaraan bagi seluruh negeri untuk memperingati hari kemenangan Raden Wijaya atas Jayakatwang dan sekaligus juga atas. tentara Tartar dan Mongolia. Untuk memeriahkan peringatan tersebut diadakan acara perhelatan rakyat, carnival dan segala macam olah raga dan seni yang dilombakan atau dipentaskan. Sistem kepemerintahan Majapahit dan nama-nama jabatannya, seperti Sang Panca Wilwatikta dan para mentri ini juga sama atau berlaku di negara-negara bawahan, kecualai istilah Maha Patih dan para Maha Menterinya hanya berlaku di kerajaan pusat sedangkan di negara-negara bawahan sebutannya menjadi patih atau mentri saja.
Demikian semoga menginspirasi.









Source : - Catatan kecil keluarga, - Babad Madura
Posted by : Den Mas Agus

Minggu, 25 September 2016

Kehancuran Kraton Sembilangan ( Part III ).



Madura barat sebenarnya memiliki lima buah kraton yang seharusnya bisa menjadi suatu rasa kebanggaan luar biasa bagi rakyat Madura pada umumnya. Kraton Madura Barat yang pertama berada di Arosbaya, kemudian berpindah ke Madegan Sampang. Kraton ketiga adalah kraton Tonjung (Kec. Burneh). Dan Pada masa pemerintahan Pangeran Cakraningrat IV, karena terjadinya tragedi pengrusakan kraton Tonjung oleh pasukan Bali yang mana pada saat bersamaan Pangeran Cakraningrat IV sedang berada di Surabaya. Adapun kaidah kraton yang rusak berarti sudah kehilangan kewibawaanya, maka Pangeran Cakraningrat IV memindah kraton Tonjung ke Sembilangan ( Sekarang Sudah menjadi Desa). Dan setelah Pangeran Cakraningrat IV tertangkap dan diasingkan ke Afrika Selatan, Pangeran Cakraadiningrat V ( P. Sidhomukti) memindahkan kraton Sembilangan ke Kraton Bangkalan yang terletak di wilayah Kodim 0829 Bangkalan saat ini. Kelima kraton Bangkalan Madura Barat tersebut adalah Kraton Kayu, dan tidak satupun terbuat dari Batu. Kecuali bangunan pengganti dari Belanda setelah Kraton Bangkalan Dihancurkan yang mana terletak di sebelah utara Kodim 0829 Bangkalan.
Bercerita tentang kraton Sembilangan yang berdiri dengan gagah perkasa sekitar 29 Tahun itu, dengan luas areal berkisar lima hektare (Sebagai tatanan luasan kraton pada saat itu), ditambah alun-alun, dan beberapa sumber air, arsitektur bangunan kraton terbuat dari Kayu Cendana dan beratapkan “Blingeh” ( Belum tahu pasti kami jenis apa ini) yang pada sebagian tepian areal kratonnya dikelilingi oleh perairan, dan terdiri dari bangunan Paseban, Bangunan Keputran dan Keputren, Bangunan Harta, dimana untuk masuk kedalamnya melalui pintu “ Semesem” dan pintu “Sketeng”, dan Dua buah Tamansari serta beberapa sumber air. 
Kerusakan kraton bermula pada penyerangan Cakraningrat IV oleh Belanda dari Arah Gresik, Sampang dan arah utara. Bangunan Kraton sudah mengalami kerusakan parah namun Panembahan Sidhomukti masih mencoba mempertahankan kraton selama dua tahun walaupun pada akhirnya memindahnya.

Pada tahun 1891, berdasarkan Beslit no. 2/c, tanggal 22 Agustus 1885 yang ditandatangani oleh Raja Belanda, maka Belanda menganggap  keraton Bangkalan bouwvallig (tidak dapat didiami karena rusak). Pada tahun 1891 rumah keraton Bangkalan dirusak dan diganti dengan rumah kabupaten biasa. Anggapan Bouwvallig sebenarnya hanya alasan dari pemerintahan Belanda yang sebenarnya berniat untuk menghapuskan segala bukti yang dapat memperingatkan rakyat akan kebesaran dan keagungan leluhurnya. Hal ini menjadikan Belanda juga tidak luput menghancurkan sisa keraton di Sembilangan.
Pada saat itu keraton Sembilangan tinggal tersisa sisi keputren beberapa ruang saja dan sisi harta yantg masih agak utuh. Sisi harta (tempat penyimpanan harta keraton seperti senjata, pakaian kebesaran Raja, gamelan-gamelan, Al Qur’an, berbagai macam Hadist dan ilmu-ilmu bertuah, ilmu-ilmu kanuragan, ilmu-ilmu strategi perang, catatan-catatan tatanan perkeratonan, blue print kerajaan, dan sebagainya). Sisi harta inilah yang kehancurannya paling akhir, terjadi pada tahun 1891.
Menurut R. Mas Murtisari, istri dari R. P. Moh. Ra’is menantu dari R. Ario Adikusumo atau Guste Arjeh Alas. Berawal dari api yang datangnya dari arah selatan (penulis lupa mengenai hari dan tanggalnya walaupun saat itu juga diberitahukan). Pertama-tama membakar sisa keputren yang ada, yang pada saat itu didiami oleh “Mo’ad” (tidak jelas nama lengkapnya). Kemudian datang kembali api-api berikutnya yang langsung menyambar sisi atap dari sisi harta kraton. atap yang memang terbuat dari kayu tipis tersebut langsung terbakar, api menghabiskan bangunan tersebut dalam waktu singkat. Dua sisi sisa-sisa peninggalan keluhuran perjuangan para leluhur Madura menjadi arang dalam sekejap. Tidak ada yang tertolong kecuali hanya sedikit.
Gamelan Cakraningrat IV yang bernama “Se-Rese’ “ itu masih terselamatkan. Sebuah peti dan sedikit pusaka-pusaka keraton masih selamat, namun itu hanya berkisar seperdelapan dari jumlah harta keraton yang ada. Sungguh sangat luar biasa kejadian saat itu. Kekejaman Belanda tidak  hanya terbatas pada manusianya saja, tetapi harta-harta yang akan menjadikan rasa kebanggaan bagi masyarakat Madura pun ikut pula dilenyapkan. Lenyap tak berbekas.  Sehingga pada saat ini hanya tinggal sisa-sisa nya saja berupa dua buah Taman Sare, dan beberapa sumber air.
Demikian tentang kehancuran kraton Sembilangan. Semoga menginspirasi.





Source : - Catatan kecil keluarga, - RM. Murtisari Posted by : Den Mas Agus

Jumat, 29 Juli 2016

Cakraningrat


AKHIR DINASTI CAKRANINGRAT




Raden Tumenggung Surodiningrat putra dari Pangeran Tjakraningrat IV. Diangkat menjadi Bupati di Madura dengan gelaran Raden Adipati Setjoadiningrat (1745). Beliau berdiam juga dikraton Sambilangan, Sidaju yaitu di gantikan saudara muda dari Bupati Gersik bernama Tumenggung Djojodiredjo. Sesudah di Madura teratur sedemikian. Maka Compagnie Belanda mengirim kapal perang ke Banjarmasin untuk menangkap Pangeran Tjakraningrat IV. Lalu terus ke kaap de Goade Hoop sehingga kemudian wafat disana. Dari sebab itu beliau disebut orang Panembahan Shiding kaap (1753). Kedua orang putranya yaitu Raden Tumenggung Sosradiningrat  dan Rorodiningrat dibuang (di interneer) ke Ceylon. Kedua orang putranya yang lain ada di Banjarmasin. Seorang bersuami Sultan Banjarmasin yaitu Ratu Sugih dan yang kedua bersuami saudara dari Sultan Banjarmasin yaitu Ratu Anom.
Didalam tahun 1747 Kraton di Sambilngan  dipindahkan kekota Bangkalan (ditanah yang sekarang berdiri Kodim Bangkalan). Juga di Bangkalan oleh Compagnie Belanda didirikan sebuah benteng pertahanan yang di tempati serdadu-serdadu Compagnie Belanda,  maksudnya untuk tidak memberi kemungkinan kepada keluarga kerjaan Madura mengadakan perlawanan atau pemogokan terhadap Compagnie Belanda (1747). Kemudian benteng itu dipakai sebagai kantor Asisten Presiden Bangkalan. Didalam Tahun 1747 itu Raden Adipati Setjoadiningrat pada waktu perpindahan keraton ke Bangkalan mendapat gelaran Adipati Setjoadiningrat . kedua orang putri yang bersuami di Banjarmasin tadi, kemudian bercerai dan sama-sama kembali ke Bangkalan, setelah ada di Bangkalan kedua orang putrinya tadi bersuami pula yaitu: Ratu Sugih bersuami Raden Panji Wirodiningrat dan Ratu Anom bersuami Raden Ario Surjodilogo di Sidaju. Yang ada di Sidaju itu mempunyai putra Raden Ario Surodiningrat yang terus menurunkan ada disana. Raden Tumenggung Susrodiningrat meninggal di Ceylon sedangkan Raden Tumenggung Ronodiningrat dapat idzin Compagnie kembali pulang ke Bangkalan.
Didalam tahun 1750 Bupati Surabaya yang bernama Tumenggung Sutjonegoro dari Djebolang.  Mengdakan pemberontakan terhadap Compagnie Belanda. Didalam pemberontakan itu. Compagnie meminta bantuan dari Pangeran Adipati Setjodiningrat di Bangkalan. Beliau sanggup membantunya dengan permintaan kepada Compagnie apabila putra beliau nanti diangkat menjadi Bupati Surabaya. Compagnie menyanggupkan itu pengangkatan apabila pemberontakan dapat dibasmi. Maka pangeran Adipati Setjodiningrat mengirimkan pasukannya dibawah pimpinan Patih Bangkalan Mas Ario Mantjonegoro yang masuk ke Surabaya melalui Gersik sehingga pemberontakan dapat didipadamkan, sedangkan Raden Tumenggung Setjodiningrat  menyingkir ke Srengat. Maka Pangeran Adipati  Setjoadiningrat sesudah Surabaya aman telah aman kembali, meminta kepada Compagnie agar supaya memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada beliau. Setelah lama menunggunya, maka Compagnie memenuhi janjinya mengangkat putra beliau yang bukan sebagai Bupati di Surabaya, akan tetapi sebagia Bupati di Sidaju dengan nama Raden Tumenggung Sorodiningrat , sedang Bupati di Sidaju yang Bernama Raden Tumenggung Djojodiredjo dipecat dari pekerjaanya dan kembali ke Gersik. Yang diangkat menjadi Bupati di Surabaya adalah dua orang saudara dari Bupati yang berontak tadi. Maka dari itu Surabaya di bagi dua. Sebagai Bupati tertua (ke sepuluh) diangkat di Surabaya Tumenggung Tjondronegoro dan sebagi Bupati yang lebih muda (kanoman) diangkat di Surabaya Tumenggung Djojonegoro. Didalam tahun 1753 setelah ayahnya meninggal di Kaap de Geode Hoop. Pangeran Adipati Setjoadiningrat meminta kepada Compagnie agar supaya jenazah ayanhya dibawa ke Bangkalan, Permintaan tersebut diperkanankannya dan jenazah ayahnya tersebut di makamkan di Aermata (Arosabaya).
Didalam tahun 1762 di Semarang di adakan kumpulan (Conferentie) dari semua Bupati didaerah  pesisiran. Didalam kesempatan itu, maka Pangeran Adipati Setjoadiningrat diberi gelaran Tjokroadiningrat (Keterangan: sejak ini panembahan, maka gelaran Tjakraningrat berubah Tjokroadiningrat sehingga sampai kepada Bupati pertama di Bangkalan). Beliau didalam babad Madura terkenal dengan nama panembahan Tjokroadiningrat V. Didalam kumpulan tersebut diatas beliau diangkat sebagai Bupati Wadhono di Pangwetan yaitu dari Madiun ke Blambangan, nama Bupati Wadhono itu. Didalam buku berbahasa Belanda disebut dengan perkataan ,,Hoofd-Regent”.
Demikian Akhir dari Gelar Cakraningrat di Tanah Madura Barat. Selanjutnya gelar Cakraningrat tidak ada lagi dan berganti menjadi Adiningrat.








Source : - Catatan kecil keluarga, - Tata Tjara pemerintahan ( Kj. Zainal Fatah ). - Catatan Adikara - Pamekasan.
Posted by : Den Mas Agus